Legenda Desa Belancan, Kec. Kintamani


LEGENDA DESA BELANCAN KECAMATAN KINTAMANI
KABUPATEN BANGLI

Pada zaman dahulu kala kira-kira abad XIV di daerah Bangli terjadi pertempuran antara I Dewa Taman Bali melawan I Gusti Paraupan. Di mana pada saat pertempuran tersebut I Gusti Paraupan meninggal di Desa Panunggekan.
Karena daerahnya I Gusti Paraupan hancur maka semua keturunannya meninggalkan daerahnya, kemudian menyebar ke empat penjuru. Anaknya yang bernama I Gusti Wayahan menuju ke barat laut dari daerahnya semula yang di ikuti oleh I Pasek Bendesa bersama 11 pengikutnya. Mereka tiba di Desa Bayung Gede. Mereka tidak lama tinggal di Desa Bayung Gede, karena mereka takut dengan para tentara I Dewa Taman Bali, karena I Dewa Taman Bali telah memerintahkan tentaranya untuk menghabisi seluruh keturunan I Gusti Paraupan. Sehingga keturunan I Gusti Paraupan cepat-cepat meninggalkan Desa Bayung Gede dan menuju ke barat, dalam perjalananya ke barat, mereka menyamar sebagai pemburu agar tidak diketahui oleh tentara I Dewa Taman Bali. Setelah lama mereka di hutan, mereka mulai merasakan payah, sehingga mereka membuat pondok/rumah (padukuhan) untuk tempat mereka beristirahat dan memohon keselamatan kepada Ida Sanhyang Widi Wasa. Setelah itu tempat tersebut dibuatkan pura yang diberi nama Pura Dukuh.
           
Tidak lama mereka tinggal di padukuhan kemudian pergi lagi menuju ke selatan untuk menghindarkan diri dari kepungan tentara I Dewa Taman Bali, pada saat itu mereka masih menyamar sebagai pemburu. Sedangkan pakaian kerajaanya ditanam (dipendem) di bawah pohon, sehingga pura tersebut di beri nama Pura Pendem.
Gusti Wayahan melakukan tapa semedi setelah meninggalkan tempat tersebut kemudian diberi nama Pura Pengeradana. Kerena mereka terlalu lama menyamar maka ada niatnya untuk mencari tempat menetap, Beliau pergi ke selatan dan bertapa, pengiring atau pengikut melihat atau menjaga dari jauh. Tak lama tempat itu ditinggalkan dan diberi nama Pura Jaba Kuta. Tempat pengikut itu menjaga kemudian diberi nama Pura Penenjoan.
            Pada suatu saat diperkirakan tentara I Dewa Taman Bali tidak lagi memburunya, maka senang hatinya dan merencanakan membuat pura. Pada saat membuat pura semua pengikutnya bersungguh-sungguh (Bahasa Kawinya: Bala) dan bertanggung jawab (Bahasa Kawinya: Angancangi) dalam membuat pura dan tidak di duga-duga sangat cepat selesainya. Setelah pura tersebut selesai kemudian pura tersebut diberi nama Pura Geniraja. Lama-kelamaan nama pura tersebut diganti oleh pengikutnya menjadi Pura Anggarkasih.
Pada saat itu belum ada Kahyangan Tiga sehingga dibuatlah Kahyangan Tiga yang diperintahkan oleh I Pasek Bendesa. Pada saat itu pembangunan Kahyangan Tiga tersebut juga dapat diselesaikan dengan cepat oleh pengikutnya, sehingga tempat tersebut diberi nama Desa Bala Ancangi, atau sering disebut dengan Bala Ancangan.
            I Gusti Wayahan cukup lama memerintah didampingi oleh I Pasek Bendesa dan Desa Bala Ancangan pada saat itu tentram dan raharja. Pada saat itu ada pengalu (orang yang mengangkut barang dengan kuda) dari desa Batur, memberitahukan I Gusti Wayahan, bahwa saudaranya ada di Desa Srokadana bernama I Gusti Anom Tengen. Mendengar pemberitahuan tersebut maka I Gusti Wayahan bermaksud menemukan saudaranya di Desa Srokadana bersama 10 pengikutnya. Setelah melalui perjalanan I Gusti Wayahan sampai di Desa Srokadana kemudian bertemu dengan saudaranya.
            Selain itu, I Gusti wayahan juga mempunyai saudara yang bernama I Gusti Ngurah Caling Lingker yang bertapa di hutan jati untuk memohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Di sebelah hutan jati terdapat hutan Bun (dalam Bahasa Bali) yang banyak sekali hasilnya (bahasa kawinya: Buktinia) dan tempat tersebut dinamakan Bukih, yang berasal dari kata Bun dan Bukti/buah.
Setelah I Gusti Caling Lingker lama tinggal di daerah Bukih maka mereka pulang ke Puri Baleagung, sedangkan rakyatnya yang masih tinggal di Bukih disuruh bersatu dengan rakkyat yang ada di Bala Ancangan.
            Setelah lama, I gusti wayahan bersama saudaranya bermaksud pulang ke Bangli, karena Beliau dan adiknya disayang oleh Raja Bangli. Setelah mereka bertemu dengan semua keluarganya yang dulunya terpencar ke empat penjuru kemudian I Gusti Wayahan menghadap kepada raja Bangli dan mereka diterima dengan baik kemudian diangakat menjadi Jaksa di Bebalang.
            Setelah beberapa lama I Gusti wayahan menjadi Jaksa di Desa Bebalang, maka Raja Bangli merasa tidak puas dengan sikap I Gusti Wayahan. Sehingga Raja Bangli mekel Sekardadi untuk membunuh I Gusti Wayahan. Pada hari tertentu I Gusti Wayahan menghadap ke Istana Raja Bangli dan membawa upeti hasil dari Desa Bebalang, kemudian I Gusti Wayahan diperintahkan untuk memungut pajak di Desa Sekardadi. Dalam perjalananya Beliau dijemput oleh rakyat mekel Sekardadi yang membawa senjata lengkap, kemudian I Gusti Wayahan dibunuh di tengah perjalanan dan jenazahnya diupacarai dan ditanam di tempat I Pasek Telagi di Kayu Ambua. Dan ditempatnyaditanam  dibangun pura yang dipertanggung jawabkan oleh yang membunuhnya.
            Setelah itu diceritakan lagi keadaan I Pasek Bendesa yang ditinggalkan oleh I Gusti Wayahan di Desa Bala Ancangan, maka mereka merubah nama Bala Ancangan menjadi Belancan.
Terbunuhnya I Gusti Wayahan kemudian didengar oleh rakyat Desa Belancan, mengingat jasa-jasanya membangun Bala Ancangan, maka rakyat Desa Belancan ikut memuja arwah I Gusti Wayahan di tempat terbunuhnya yaaitu di Desa Kayu Ambua dan lama kelamaan tempat tersebut diberi nama Pura Ibu. Dan sampai sekarang masyarakat Desa Belancn masih ikut memuja di Pura Ibu tersebut.
Demikianlah asal mula Desa Belancan yang memang sampai sekarang selalu menjadi motivator bagi masyarakat Desa Belancan untuk siap bekerja keras dan besungguh-sungguh demi mensukseskan pembangunan desa.


2. Anlisis wacana dalam perspektif Antropologi Linguistik.
Wacana dalam perspektif ini merupakan analisis tentang realitas sosial-budaya yang disimbolkan melalui bahasa. Hal ini mencerminkan nilai-nilai budaya yang terselip dalam ujaran atau ungkapan kebahasaan. Nilai kebudayaan tersebut terwujud dalam suatu bentuk kearifan dan kehati-hatian, sopan santu, kewaspadaan, etika, gotong royong, musyawarah mufakat, keadilan, adaptasi, relegius, dan estetika. Dibawah ini akan dijelaskan Nilai Kebudayaan terkandung didalam Legenda “Desa Belancan” secara mendetail. Berikut ini adalah Nilai-nilai kebudayaan yang ada dalam legenda “Desa Belancan” yang akan dijelaskan secara satu persatu antara lain sebagai berikut:
  1. Kearifan dan kehati-hatian: kearifan dan kehati-hatian yang tercermin disini ialah I Gusti Wayahan cukup lama memerintah didampingi oleh I Pasek Bendesa dan Desa Bala Ancangan pada saat itu tentram dan raharja. Dan nilai kehati-hatianya tercermin dari, Karena daerahnya I Gusti Paraupan hancur maka semua keturunannya meninggalkan daerahnya, kemudian menyebar ke empat penjuru. Anaknya yang bernama I Gusti Wayahan menuju ke barat laut dari daerahnya semula yang di ikuti oleh I Pasek Bendesa bersama 11 pengikutnya. Mereka tiba di Desa Bayung Gede. Mereka tidak lama tinggal di Desa Bayung Gede, karena mereka takut dengan para tentara I Dewa Taman Bali, karena I Dewa Taman Bali telah memerintahkan tentaranya untuk menghabisi seluruh keturunan I Gusti Paraupan. Sehingga keturunan I Gusti Paraupan cepat-cepat meninggalkan Desa Bayung Gede dan menuju ke barat, dalam perjalananya ke barat, mereka menyamar sebagai pemburu agar tidak diketahui oleh tentara I Dewa Taman Bali. Dan pada saat Terbunuhnya I Gusti Wayahan kemudian didengar oleh rakyat Desa Belancan, mengingat jasa-jasanya membangun Bala Ancangan, maka rakyat Desa Belancan ikut memuja arwah I Gusti Wayahan di tempat terbunuhnya yaaitu di Desa Kayu Ambua dan lama kelamaan tempat tersebut diberi nama Pura Ibu. Dan sampai sekarang masyarakat Desa Belancn masih ikut memuja di Pura Ibu tersebut”.

  1. Sopan santun: nilai sopan santun dapat dilihat dari “Setelah lama, I gusti wayahan bersama saudaranya bermaksud pulang ke Bangli, karena Beliau dan adiknya disayang oleh Raja Bangli. Setelah mereka bertemu dengan semua keluarganya yang dulunya terpencar ke empat penjuru kemudian I Gusti Wayahan menghadap kepada raja Bangli dan mereka diterima dengan baik kemudian diangakat menjadi Jaksa di Bebalang”.
  2. Kewaspadaan : nilai kewaspadaan dapat terlihat “Tidak lama mereka tinggal di padukuhan kemudian pergi lagi menuju ke selatan untuk menghindarkan diri dari kepungan tentara I Dewa Taman Bali, pada saat itu mereka masih menyamar sebagai pemburu. Sedangkan pakaian kerajaanya ditanam (dipendem) di bawah pohon, sehingga pura tersebut di beri nama Pura Pendem”.
  3. Gotong royong: nilai gotong royong yang tercermin disini ialah Setelah lama mereka di hutan, mereka mulai merasakan payah, sehingga mereka membuat pondok/rumah (padukuhan) untuk tempat mereka beristirahat dan memohon keselamatan kepada Ida Sanhyang Widi Wasa. Setelah itu tempat tersebut dibuatkan pura yang diberi nama Pura Dukuh. Dan pada saat itu belum ada Kahyangan Tiga sehingga dibuatlah Kahyangan Tiga yang diperintahkan oleh I Pasek Bendesa. Pada saat itu pembangunan Kahyangan Tiga tersebut juga dapat diselesaikan dengan cepat oleh pengikutnya, sehingga tempat tersebut diberi nama Desa Bala Ancangi, atau sering disebut dengan Bala Ancangan”.
  4. Musyawarah Mufakat: musyawarah mufakat dalam legenda ini tidak begitu terlihat jelas, hanya ada satu yang menurut penulis merupakan musyawarah mufakat yaitu ketika I Gusti Wayahan bersama ke-dua adiknya memutuskan untuk pulang Kebangli.
  5. Keadilan: nilai keadilan dapat tercermin dalam “. Pada hari tertentu I Gusti Wayahan menghadap ke Istana Raja Bangli dan membawa upeti hasil dari Desa Bebalang, kemudian I Gusti Wayahan diperintahkan untuk memungut pajak di Desa Sekardadi”.
  6. Adaptasi: nilai adaptasi tercermin pada “Tidak lama mereka tinggal di padukuhan kemudian pergi lagi menuju ke selatan untuk menghindarkan diri dari kepungan tentara I Dewa Taman Bali, pada saat itu mereka masih menyamar sebagai pemburu. Sedangkan pakaian kerajaanya ditanam (dipendem) di bawah pohon, sehingga pura tersebut di beri nama Pura Pendem”.
  7. Relegius: Nilai Relegiaus disini sangat kental terasa dan terkandung dalam legenda ini, karena setiap tokoh dalam legenda ini dalam setiap pengambilan keputusan dan melakukan sesuatu terlebih dahulu mereka berdoa dan bertapa memohon petunjuk dan keselamatan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dan tercermin dalam pembangunan hampir semua pura dalam perjalanan mereka  yang ada di Desa Belancan.
  8. Estetika: Nilai Estetika yang ada atau tergambar disini yaitu “Setelah lama, I gusti wayahan bersama saudaranya bermaksud pulang ke Bangli, karena Beliau dan adiknya disayang oleh Raja Bangli. Setelah mereka bertemu dengan semua keluarganya yang dulunya terpencar ke empat penjuru kemudian I Gusti Wayahan menghadap kepada raja Bangli dan mereka diterima dengan baik kemudian diangakat menjadi Jaksa di Bebalang”.

posted under |

1 komentar:

Unknown mengatakan...

jeg top.. izin copy blay

Posting Komentar

Posting Lama Beranda

Lencana Facebook

Popular Posts

Blogger templates

Blogger news

Blogger templates

Recent News

"OM SANTIH, SANTIH, SANTIH, OM"
Diberdayakan oleh Blogger.

Followers


Recent Comments